STORY PART 5 (3 MONTHS OF LOVE)
Kehadiran Pangeran Komik
Teng Tong
“Okey, PRnya jangan lupa dikerjakan. Kita ada kelas lagi hari rabu
ya, rabu pagi dikumpulin di meja guru seperti biasa, banyak latihan soal,
karena bentar lagi kita midtest
pembelajaran mat 1” jelas sang guru.
“Iya Bu”, jawab
para murid serentak. Sang guru berkacamata itupun meninggalkan kelas, tak lebih
5 langkahnya dari kelas, suasana kelas yang asalnya tenang pun berubah drastis
menjadi gaduh.
Kulihat jam di
dinding menunjukkan pukul 11, yang berarti ada 1 mata pelajaran lagi sebelum
pulang sekolah. Dari jam dinding, pandanganku langsung ku banting ke sebelah
kanan, terpapar lapangan yang luas dengan tumbuh-tumbuhan di pinggirnya dan
bendera merah putih yang berkibar karena angin yang cukup besar, ada untungnya
juga kelas di lantai 2, pemandangannya asyik. Siang ini sangat cerah, sehingga
membuat lapangan dan genting sekolah terlihat sangat panas sampai menghasilkan
uapnya.
“Key!” panggil
Boni dari arah samping kiri belakang.
“Apa?!” teriakku, karena keadaan kelas masih sangat gaduh sampai ada
seseorang yang berada di depan kelas menulis gambar-gambar abstraknya dan
tempat dudukku yang berada di ujung sebelah kanan 2 bangku dari depan tepatnya
sebelah jendela. “Nanti ngerjain PRnya bareng ya, sambil main kartu” sahutnya.
“Iyee..”
jawabku sambil memalingkan wajahku ke arah jendela. Tiba-tiba ada yang membuat
mataku memicing, bukan karena aura panasnya udara, tapi karena ingin memastikan
sesuatu yang aku lihat itu benar apa adanya. Dan di seberang sana, ada seseorang
yang berjalan ke arah timur sambil mengayun-ngayunkan bukunya. Lalu agak
kumajukan mukaku ke jendela dan ternyata benar DIA…!! Akupun tersenyum sendiri
dengan melihat mukanya yang bersih, hidungnya yang mancung dan rambut jadulnya
yang dia bentuk belah tengah. Rambut belah tengah memang sudah ga zaman namun
entah kalo di mukanya terlihat pas dan malah membuat mukanya semakin tegas.
Karena terlalu
asyik melihat keluar, tanpa sadar suasana kelas menjadi hening, sesaat teman
sebangkuku Mira menarik buku yang aku tindih dengan tangan, aku menoleh ke
samping dan ternyata guru bahasa Inggris sudah di depan sambil memegang buku
paket dan melihat ke arahku.
“Ya coba Keyla,
bacakan paragraph pertama” akupun langsung panik sambil mencari buku paketku
namun Mira menolong dengan menyodorkan bukunya dan menunjuk mana yang harus
kubaca.
“Once upon a
time…. “ thanks Mira, syukurku dalam
hati.
***
“Key, ke kantin yuk? Aku pengen beli Beng-beng” ajak
Tina yang di sampingnya sudah ada Rani teman sebangkunya.
“Hmmm, hayyu” aku mengiyakan ajakannya. Saat itu Mira
sudah tidak ada di kelas, mungkin lagi berkumpul dengan teman dekatnya di lain
kelas. Awalnya Mira bukan teman sebangkuku, namun karena teman sebangkunya
sakit jadi dia sebangku denganku hari ini.
Sebenarnya aku
tidak mematok harus sebangku dengan siapa dan malah bersyukur sudah ada yang
mau sebangku denganku. Karena aku menjadi seseorang yang pendiam, makanya pada
saat orang lain pada sibuk nyari teman sebangku, aku malah asyik dengan buku
yang ada di tanganku (ternyata kebiasaan itu masih ada), yang paling penting
buat aku dapet tempat duduk yang enak. Dan benar sampai hampir detik terakhir
di hari pertama di kelas ini, aku masih sendiri, sampai ada seorang siswi yang
berparas cantik dan modis langsung menyambar duduk di sebelahku, padahal masih
ada yang kosong di sebelah sana.
Kalo kata sebagian orang bilang apes, duduk bareng sama
cewe cantik karena seakan kita seperti itik buruk rupanya, namun buatku itu
tidak penting, yang paling penting tidak duduk sendiri di bangku. Namun sayang,
hal ini cuman berlangsung sebulan karena si cewe cantik ini pindah sekolah ke
luar kota.
“Eh Ran, kamu punya novel bagus lagi ga? Aku jadi pengen
beli novel” ucapku saat berjalan di lorong menuju kantin yang penuh dengan para
siswa yang kelaparan.
“Ada, nanti pilih aja pas main ke rumah atuh” aksen
sundanya keluar. “Aku juga ada novel
tapi lupa lagi judulnya apa” tambah Tina yang sedari tadi mengantri di
lorong menuju kantin. Jam istirahat memang jamnya penuh orang di kantin sampai
harus mengantri seperti peraduan pembagian sembako gratis, senggol sana-sini.
“Yaudah Tin, ntar bawa ya. Aku pengen pinjem, nanti aku coba beli” masih belum
berani buat beli buku yang ga ada hubungannya dengan sekolah.
“Aduh!!” ujung kaki kananku terinjak dan aku mulai kesal
dengan desak-desakan ini, sehingga membuatku ingin marah pada orang yang
menginjak kakiku. Namun, belum sempat kulontarkan kata-kata umpatku,
kuteperangah. “Eh, maaf maaf.. “ ucapnya dengan ekspresi menyesal, sesaat
melihatku jelas ekspresinyapun berubah.
“Eh Keyla.. Maaf ya.. kamu gapapa kan?? Maaf..” mukaku
terasa panas dan aku ga tau harus berkata apa. Tina dan Rani heran melihat
tingkahku seperti ini. “Key, marah ya? Aku traktir coklat deh 2” mohonnya.
“Eh, ga usah Kak Regi. Gapapa kok” aku mencoba untuk
terlihat tenang. “Ih beneran. Aku beliin kamu coklat ya, ini. Skali lagi maaf
ya” diapun terhanyut karena segerombolan manusia yang berdesakan sana-sini. “Eh
Ka Regi… Makasih ya!” teriakku berharap dia mendengar walaupun batang hidungnya
sudah tak terlihat lagi.
“Hyatttt!!” Boni melakukan tingkah smackdown di depan kelas dengan Said dan Panjul. Mereka terlalu
asyik melakukan adegan itu, sampai tak sadar kalau celana mereka ada yang
melorot, untung pada pake boxer.
“Ciaattt Ciiatt!!” yaa seperti itulah pemandangan kelasku setelah jam sekolah
usai. Selain ada yang heboh di depan kelas, sisanya asyik di bangkunya
masing-masing.
“Kamu kenal sama Kak Regi anak DKM itu?” Tanya Tina dan
Rani menyimak. “Hmm iya kenal sih” jawabku ragu. “Kok bisa??!!” Rani mulai
histeris
“Ga tau, kebetulan aja sih, pas istirahat teater sempet
shalat bareng . Dah itu aja” mencoba menjelaskan. “Kok tau nama kamu?” Tanya
Tina ga sabar. “Hmmm.. dia baca nama aku kayanya hee” nyengir tak enak.
“Ihhh Keylaa… Aku
kan ngeceng sama anak DKM juga namanya Ikhsan, tau ga? Yang tinggi sama suka
pake tas gendong item” Rani mulai merengek. “Apa ga ada ciri yang lebih
spesifik gitu, yang tinggi and tas
gendong item kan bejibun banget disini Ran” aku mulai heran, ternyata seperti
ini ya rasanya saling curhat tentang cowo.
“Enak ya kamu, dikenal sama dia. Aku juga ngeceng anak
DKM namanya Deri, kamu jangan rebut dia lho” Tina mulai membongkar isi hatinya.
“Hahaa mana mungkin aku rebut, orang aku pada ga kenal
dan ga tau yang mana. Lagipula mana berani aku ngomong sama cowo, kakak kelas
lagi” kayanya anak DKM paling populer di sekolah ini, sebenernya bukan DKM nama
ekskulnya tapi BGI (Badan Gerakan Islam), cuman karena terbiasa dari SMP kalo
organisasi yang berbau Islam disebut dengan DKM.
“Apaan sih ini?” Boni langsung membuyarkan edisi curahan
hati RaTinLa (Rani, Tina , Keyla #alay). “Biasaa Bon. Anak-anak alay, anak
layangan” ucap Said sembari melakukan gerakan cumi.
“Ooohhh pasti ngomongin tentang kakak kelas ya. Adduuhh,
kakaak mau dong jadi pacarnyaa… aahh kakak..” sambil mempraktikan badannya yang
luwes seperti waria yang menggoda Said yang sedang berekspresi sok cool gitu.
“Iiih… apaan sih kalian..” protes Rani. “Iyah, ih kalian
ganggu aja. Hush hush hush..” tambah Tina dengan suara childishnya.
“Id Id, kita capoera
coba coba..” ajak Boni mulai ke tempat asalnya. “Okey, okey. Key, sini Key kamu
pegang ini (kursi) dan jangan bergerak, pas aku loncat terus kamu duduk di
kursi sambil ala Beyonce gitu” jelas Said.
“Gila kamu” jawabku. “Udah coba, cobalah Key” sahut
Said. Nama aslinya bukan Said tapi Su’ep tapi karena ada turunan Arab banget
dan daripada dipanggil Suep kita sepakat buat manggil dia Said. Dan hanya
mereka berdualah Boni dan Said yang sering mewarnai hari-hariku dengan
keabnormalan mereka, tingkahnya yang aneh, kata-katany yang absurd dan tak tau berawal dari apa yang
membuat aku mengenal DUO Lenje ini.
“Oke oke aku coba..” dan anehnya, hanya dengan mereka
aku merasa bebas, nyaman dan bisa menjadi diriku sendiri, terbuka tanpa
beban. Mereka mempunyai badan yang
tinggi sekitar 170an, tapi pikiran mereka so
childish dan kosakata mereka unik, selalu berakting dalam mengungkapkan
sesuatu. Sepertinya mereka ga pernah dibedong semasa bayi, karena untuk diam 10
menit aja bisa membuat mereka gatal heu.
Kupegang kursi itu dari belakang di depan kelas. Said
berdiri diatas kursi, Boni menunggu di depan pintu, Tina dan Rani asik dengan
majalah yang dibawa Rani dari rumahnya. Aku mulai aba-abanya “1… 2.. 3!” Said
meloncat dan mendarat dengan mulus, Boni mulai memutar musik dari hpnya, Said
mementikkan jarinya dan menunjukku menyerupai pistol. Lalu aku bergerak maju
dengan mengikuti ritme lagu beyonce,
memutari kursi dan duduk dengan menawan, setidaknya di imajinasiku aku
melakukannya bak seperti artis Hollywood
70an. Tapi ternyata itu hanya bener-bener di imajinasiku saja.
Karena saat kutersadar, aku melihat ekspresi orang-orang
mulai menahan tawa, tapi DUO Lenje ini tak pandai menjaga perasaan orang lain,
karena mereka langsung tertawa sekeras-kerasnya melihat tingkahku. “Keyla..
Keyla..” ucap Said. “Ihh apaa” aku tersipu malu, tapi hanya tersipu sampai
kumelihat ada seseorang yang asing (bukan anak kelas ini dan parasnya seperti
pangeran dalam komik) terdiam terpaku diluar depan jendela yang terbuka,
ekspresinya terlihat aneh seperti melihat alien yang menari balet, dari tersipu
ku menjadi tersapu seakan ada gempa besar. Dia tersadar dengan ekspresi gak karuanku,
dia mulai berteriak “Said!”.
“Woi Bro..” sahut Said sambil berjalan keluar dengan
tawanya yang melihat ke arahku. Dia menunggu Said menghampirinya, disaat Said
mendekat diapun berlalu sambil menoleh sekali ke arahku. Aku langsung
menundukkan pandanganku sesaat dan melihatnya, namun dia sudah pergi berlalu.
“BONI!!!” aku berteriak meluapkan kekesalanku karena
sudah mempermalukan diri di depan orang banyak, ga penting sih kalo teman
sekelas, tapi ini depan anak kelas lain dan ganteng pula. Haaa, habis sudah.
***
“Yes! Namaku ada di posisi aman” senangnya setelah
melihat pengumuman hasil ujian matematika di samping papan tulis. “Iihh untung
aku lolos walaupun nilaiku pas-pasan” say
Rani. Tina tersenyum merekah karena dia sudah melebihi nilaiku 1 poin.
“Eh, Key besok kamu mau ikutan ke acara DaFest ga?”
Tanya Tina. “Apaan DaFest?” tanyaku.
“Itu lho… Dago Festival, acaranya rame. Aku kayanya ga
ikutan, mau ada acara keluarga” jelas Rani. “Emang ada apa aja?” tanyaku
kembali. “Yaa banyak. Ada band, banyak makan dan pastinya banyak orang disana”
Rani kembali menjelaskan.
“Wahhh Ada Band manggung disana juga?” aku termasuk
penggemar lagu-lagu Ada Band. “Bukan Ada Band lho.. tapi ada band-band indie
biasanya yang manggung disana, nama bandnya macem-macem” Rani terus
menjelaskan.
“HOP. Jadi, kamu kesana ga Key? Kamu lihat nanti aja
ramenya kaya gimana, aku kayanya dijemput Prito deh. Jadi kalo kamu mau kesana
nanti kita ketemuannya disana aja, janjian” Tina tersenyum sambil membayangkan
betapa serunya acara besok malam.
“Hmm.. aku sama siapa? Lagipula aku ga tau itu dimana
tempatnya, yang aku ta cuman sekitar rumah, SMP sama SMA hahaa” nyengirku
miris.
“Yaelah… Ni anak, masa ga tau Dago?? Dago kan tempat
yang paling ngeHits banget di Bandung” kesalnya Rani sambil meremas tangannya
di udara.
“Kenapa kamu ga sama Kak Regi aja, kan lumayan. One step closer” goda Tina. “Apa?
Enggaa.. aku ga mau, lagipula masa iya dia mau ngajak aku” tegasku. “Ya ampun
Key, ya kamu duluanlah” Tina menggodaku dengan jari manisnya mencoba
menggelitikku. “Ogahhh… hahaa. Ih Tina, diemm!” mencoba menghalau jari
manisnya.
“Eh, itu Kak Regi!!” Rani histeris saat melihat keluar
jendela dan melihat sosok Regi yang berada di lapangan sambil memegang bendera
bersama teman-teman sekelasnya, sepertinya untuk latihan upacara senin nanti.
“Mana? Mana??!” Tina langsung mendekati jendela. Kok yang histeris mereka ya
dibandingin aku. Akupun mengikutinya mendekati jendela, mengintip sambil
tersenyum. Ah, dia…
“Oke Key, gue bantu” tangannya menepuk bahu kiriku, aku
terheran tidak mengerti maksud dia, sampai tersentak mereka berteriak
sahut-sahutan “KAK REGI!!!!” spontan Regi mendongak ke atas mencari sumber
suara, aku terkaget sampai ku bersembunyi di balik jendela. Tapi
persembunyianku percuma, karena Rani dan Tina berteriak-teriak namaku sambil
menunjuk ke arahku. Walaupun aku tepis tunjukan mereka , tetap saja merkku tersebut. Aku malu bingitss (anak
alay sekrang). Anak-anak lain serentak melihat kearah mereka. Aaah stop teriak
namaku please..
Aku menutup wajahku dengan buku paket fisika yang mampu
menutupi seluruh muka kecilku ini. “Yah… Kak Reginya pergi” Rani mulai kecewa.
“Kalian kenapa sih bikin malu aja. Anak DKM lho dia. Haduhh, gimana ini.” Tapi
cuek aja kali ya. Toh aku bukan orang beken disini, jadi pada ga tau Keyla itu
siapa, yang mana. Cuman mereka, apa ada yang hafal mereka ya? “Tapi kayanya Kak
Regi kesini deh” sahut Tina dengan senyum menggodanya.
“Mulai deh ngimpi. Udah ah aku mau pulang ya” aku mulai
membereskan mejaku.
“Key!” teriak Rani. “Apa?! Kalian tu bikin malu aja” aku
mulai agak menaikkan suara.
“Key, Kak Regi ada disini.” Tina mulai gelagap. Tapi
langsung kusanggah tanpa kulihat dirinya dan terus membereskan tasku “Udah deh
Tin, jangan bikin malu lagi. Masa iya dia mau kesini, ngapain. Mimpi kayanya.
Haah..” menghela nafas.
“Key..” suara dari arah pintu kelas terdengar dan seakan
membuatku kaku. Dan kulihat, “Kak Regi..” suaraku tergelagap seakan sulit untuk
keluar. “Bisa bicara sebentar?” dia mulai berbicara dan tersenyum pada Rani dan
Tina. Ah, ini pasti gara-gara mereka yang mempermalukan Kak Regi, secara dia
anak DKM harusnya alim bukan dijadiin bual-bualan kaya tadi. Haduh, gimana ini.
Kak Regi mulai melangkahkan kakinya menjauhi pintu kelas dan ia menunggu di
sebelah tangga.
Aku dengan segera menghampirinya sambil menggerutu ke arah
Tina dan Rani. Well, ekspresi mereka
masih terkaget dan merasa bersalah terhadapku. “Iya Kak Regi, ada apa? Masalah
yang tadi ya. Maaf ya mereka emang suka iseng, paling seneng bikin orang malu
sampai anak kelas juga suka ada yang digitu-gituin sama aku. Aku juga bingung,
dia juga sempet salah faham dan..” bejibun kujelaskan sampai terpotong dengan
adanya pertanyaan darinya “Siapa?”
Ha? Siapa yang nanya maksudnya? Gilaa.. Iya juga siapa
yang nanya. Haduh, ngapain sih gue. “Key, siapa yang dicomblangin sama kamu?”
tanyanya membuyarkan bengongku. “Ha? Mmm temen sekelasku namanya Romi”
jawabku.“Hmm terus?” .
“Ha? Terus apa ya?” kenapa sih perkataan dia pertanyaan
mulu, bikin orang mikir aja.”Terus kamunya gimana?”
“oooh itu, ya biasa aja. Cuman teman sekelas” jelasku
singkat dan dia hanya mengangguk, sepertinya ada sesuatu yang sedang dia
pikirkan. “Key, besok ke acara Dafest ga?” dia mulai bertanya lagi.
“Engga kayanya, ga tau tempatnya juga” agak malu juga mengakui ga tau suatu tempat
yang bahkan orang luar Bandung aja pada tahu.
“Tapi, mau kesana?” dia memang hobi bertanya atau reporter wanna be. “Ya mau, tapi ga ada temen haha.
Tina bareng cowonya, Rani ada acara keluarga” aku mulai menggaruk alisku.
“Bareng sama aku aja kalo gitu. Aku juga mau kesana,
gimana?” dia terlihat sekali menunggu kepastianku, namun aku terlalu kaget
untuk mendengar semua ini, “beneran Kak?” dengan nada tak percaya.
“Iya bener, besok jam 5 ya di sekolah, jangan lupa bawa
jaket!” suaranya mulai mengeras karena sambil menuruni tangga, mukanya
tersenyum ramah sambil berlalu.
Aku hanya terdiam membeku, masih tidak percaya dengan
apa yang barusan terjadi. Terdengar sesuatu, gesekan pintu di dekat tangga. Aku
berlari menuju kelas sambil berteriak “Rani…!!! Tina!!!” terlalu bahagia hati
ini, sampai tidak menyadari bahwa suara pintu tadi akibat dari tertatihnya
seseorang dengan seragam berlabel nama Vino Rahadian.
***
Pagi yang cerah, menggambarkan jauh dari kata musim
hujan bulan ini. Berseragam olah raga dan siap ke lapangan. Sekolah kami,
setiap pelajaran olah raga menggabungkan 2 kelas seperti adanya kompetisi. Dan
tentunya di bagi 2 grup, olahraga siswa dan olahraga siswi. Kedua grup olahraga
ini saling bertukar tempat, kalo ga di lapangan ya di Aula. Dan hari ini,
jadwalnya para siswi untuk berlatih bermain voly di lapangan.
Ini merupakan hal
yang paling malas aku lakukan, aku lebih baik memilih lomba lari atau bermain
basket, kalau perlu main bola walaupun kaki kemana dan bola kemana. Tapi
setidaknya tidak memberikan rasa sakit saat bermain, sudah kucoba 2 minggu lalu
saat berlatih menjadi server dan
alhasilnya ga ada kemajuan, yang ada hanya tanda merah lebam di tangan kecilku
ini.
Praktik olahraga dimulai dengan pertandingan volley
antar kelas, setiap kelas dibagi 3 grup sesuai urutan absen. Sudah jadi
keputusan mutlak kalau apapun yang berdasarkan absen, aku selalu menjadi grup
2. Rani dan Tina berada di sekitaran ujung absen, jadi termasuk ke group 3.
Selagi menunggu giliran bertanding, kami menjadi penonton dan mencari tempat
yang teduh.
“Key, jadi sama Kak Regi hari ini?” tanya Tina
memastikan. “Adeuhh… Ada yang mau jadian ni” goda Rani. “Hmm belum ketemu lagi,
tapi kemarin bilangnya gitu, ga yakin juga sih. Masih belum percaya hehee” muka
ini terasa panas dan deg-degan, entah apa yang akan terjadi hari ini.
“Sms aja, tapi kamu ga punya no hpnya ya. Kalo jadi,
kita ketemu disana ya. Jangan lupa bawa jaket, seperti yang dia omongin..” ujar
Tina. Haa.. iya jaket, dia menyuruhku untuk pakai jaket buat acara nanti, pake
jaket yang mana ya. Berpikir keras sebagaimanapun tetap saja tak ada jaket yang
membuatku terlihat bagus, jaket yang biasa kupakai ke sekolah barang lama
semua. Waktu terasa cepat, sampai tiba giliranku untuk bertanding.
Pertandingan pertama, kelas kami berada di posisi teduh
dan menghadap ke arah barat dimana ada kelas Kak Regi disana. Setengah
pertandingan pertama, tiba-tiba anak kelas Kak Regi pada keluar kelas semua.
Mereka berkumpul di depan kelas, seperti bersiap-siap untuk pergi ke kelas komputer
dengan membawa buku 1 dan ballpoint.
Konsentrasiku menjadi buyar dan mencari penampakannya. Sampai terdengar suara
peluit dari sang guru olahraga yang mengakhiri pencarianku akan penampakannya.
Kami bertukar posisi, dan posisi kami sekarang berada di
tempat yang terpapar sinar matahari dan menghadap Timur. Aku bersyukur dalam
hati, setidaknya aku tak terlihat jelas olehnya saat pertandingan voli ini.
Namun disaat temanku menyervis bola volinya, Rani dan Tina berteriak. “Keyla!
Keyla..!” sambil tertawa dan saat kulihat mereka, mereka menunjuk ke arah
samping kananku.
Saat kutoleh ke kanan, segerombolan kelas Kak Regi
berjalan ke arah Timur. Tujuan mereka bukan ke ruang komputer, melainkan ruang
multimedia yang tepat berada di samping kanan depanku. Mereka berkumpul di
depan ruang Multimedia yang berada di lantai 2, karena kunci ruangan tersebut
dipegang oleh gurunya. Disaat pandangan mereka tertuju semua ke lapangan,
apesnya giliranku sebagai server.
Bola voli kupegang, kakiku mulai lemas dan tangan
berkeringat dingin. Kumulai berdiri di tempatku, terlihat semua orang yang ada
disana termasuk Kak Regi yang sedang fokus melihat ke arahku. Teman-temannya
mulai menggoda, “Regi, Regi, Regi..” dan Kak Regi tetap tak bergeming.
Aku mulai grogi dan yang sangat ingin kulakukan sekarang
adalah melempar bola voli ke teman sebelahku untuk menggantikan posisiku
sekarang. Tapi tak mungkin aku lakukan itu, atas dasar apa aku bertindak
seperti itu. Apes banget sih si gue, okey tak ada pilihan lain.
Aku mencoba menenangkan diriku dengan menarik nafas
panjang, mengambil posisi, angkat tangan kiri lalu lempar bola voli ke atas dan
tangan kiri bersiap. “Regiiii….” terdengar suara temannya disana. Kukumpulkan
semua tenaga di tangan kanan, dengan segenap hati kupukul bola voli itu dengan
harapan akan terlempar ke arah depan. Namun, “yaaaaaahhh” serentak suara
kekecewaan dari teman-temanya Kak Regi disana. Aku pun seakan runtuh dan malu
tingkat Dewa, dengan melihat bola voli yang kupukul terlempar jauh sampai ke
genting kelasku yang berada di sebelah kiriku sekarang.
Saat kuberpindah posisi ke sebelah, anak-anak kelas Kak
Regi mulai masuk ke ruangan Multimedia karena sang guru yang ditunggu sudah
tiba. Aku meringis, seperti pertunjukan awal yang memalukan sebelum mereka
memulai pelajarannya. Kenapa waktunya apes banget, kenapa sang guru yang mereka
tunggu datangnya ga dari tadi, kenapa pas kelasnya yang ke ruang multimedia
sekarang, aaahhhh kenapa? Kenapa? Kenapa?
“Hahaa Keyla Keyla…. Muka kamu tuh ya, tadi kaya tomat
mateng yang siap diulek tau ga..” Rani mulai membeli gorengan kesukaannya.
“Kasian kamu Key haha” tambah Tina antara turut berduka cita dan bersuka cita
dengan penderitaanku ini. Kantin terlihat kosong saat itu, karena sedang jam
pelajaran sekolah dan kami masih ada waktu 15 menit lagi sebelum mata pelajaran
selanjutnya dimulai.
Aku hanya bisa menghempaskan diri di bangku dekat kantin
dengan meremas bungkus beng-beng yang kupegang, pandanganku tertunduk ‘apes
banget sih’. Pandanganku mulai terhalang dengan adanya sepasang sepatu
laki-laki yang berwarna hitam. Kulihat orang tersebut dengan mendongakkan
kepalaku, ‘Ha? Kak Regi?’ kukedipkan mataku berkali-kali untuk menjelaskan
pandanganku.
“Key, nanti sore jadi kan?” tanyanya. Aku mulai
tersenyum, perasaanku campur aduk sekarang “Iya Kak, jam 5 ya? Ketemu di depan
gerbang sekolah ato dimana?”. “Dii.. depan mading aja, kalau di depan gerbang
ga ada tempat duduk” dia mulai memutuskan.
“Okey” aku menjawabnya dengan tak lupa senyumku
tersungging. Tina dan Rani muncul dari arah kantin, Kak Regi melihat ke arah
mereka dan tersenyum, “Yaudah, aku masuk dulu ya. Duluan ya” senyumnya ramah.
“Iya Kak” Rani dan Tina serentak menyerbuku dan bertanya sana-sini.
***
Isi lemari semuanya kuacak, berbagai macam baju kucoba.
Tapi payah, tak ada yang bagus sampai akhirnya aku menyerah dan kuraih lagi
kaos ,celana jeans panjangku dan jaket yang sering kupakai ke sekolah. “Ya
sudah, apa adanya saja” pasrahku terhadap cermin. Aku berpamitan ke mamahku
tersayang sambil meminta uang tentunya. Sampai kutiba di sekolah dan kulihat
jam di hp “ternyata masih jam setengah 5, yaahhh aku lupa charge hp tadi, tinggal 5%, aduuhhh” aku mulai panik.
“Keyla? Kebetulan ada, bantuin aku yuk masukin speaker ke lemari. Tadi Pak Pelatih
minta dimasukin soalnya itu lumayan harganya” dia adalah salah seorang fighter Teater yang sering disebut
kembaranku karena sama-sama berkulit sawo matang dan langsing alias kurus,
namanya Hana.
“Oh baik Kak” aku langsung sigap membantunya di sekre Teater,
dari sini terlihat tempat mading, namun tempat duduknya sedikit terhalang
dengan mading lainnya. Lagipula masih lama, setengah jam lagi ini.
“Oke, dah selesai.
Makasih ya Keyla.. Kamu abis pulang ya, sekarang mau kemana?” tanya Kak Hana. Aku
sempat berpikir untuk berkata, kata aman yang tidak menimbulkan pertanyaan lagi
yang memancing keingin tahuan Kak Hana aku pergi dengan siapa, “Hee mau ke DaFest,
kakak kesana juga ga?”
“Pulangnya malem ya, rumahku jauh Key. Jadi susah,
yaudah aku duluan ya, hati-hati lho dah sepi sekolahnya” Kak Hana memang orang
yang baik dan perhatian, dia selalu sabar dalam masalah apapun yang ada di
Teater dan dia yang paling peduli terhadap Teater kita ini.
Kulihat jam di dinding Teater menunjukkan pukul 17.05
WIB dan kutengok tempat mading dari sini, tapi tak terlihat siapapun disana.
Aku berjalan ke tempat mading dan tetap tak terlihat siapapun disana, kulihat handphoneku dan ternyata sudah mati. Aku
terus menunggu di tempat itu sambil membaca isi mading yang ada, dengan sesekali
dikejutkan dengan orang lewat, dan terus kekecewaan yang ada saat kulihat
ternyata bukan dia yang lewat.
Aku mulai terduduk sambil melihat mading, apa lagi yang
harus kulakukan. Semua yang ada di mading sudah kubaca sampai hal-hal kecilpun
ikut terbaca olehku. Kulihat langit ternyata sudah mulai menggelap, dan adzan
maghrib mulai berkumandang. Ah, ternyata sudah 1 jam lebih aku menunggu. Kenapa
Kak Regi belum muncul juga ya?? Tina sudah ada disana belum ya? Lalu kulihat
telepon umum yang ada di sebelah mading.
Ya ampun, kenapa ga aku telepon aja. Tapi, aku ga hafal
nomor mereka dan hpku mati. Aduuhh… apes apes apes banget hari ini. Hah, lebih
baik aku shalat dulu saja, tapi gimana kalo aku lagi shalat, Kak Regi datang.
Ho okey, aku kasih note aja di mading, tapi aku ga bawa ballpoint dan buku,
hanya dompet dan hp yang kubawa.
Ku mulai mencari pulpen dan kertas di kelas sebelah,
karena terkadang para siswa teledor atau malas untuk membawa terlalu banyak
buku di tasnya. “Ah, ketemu!!” aku langsung melesat ke tempat mading dan
kutuliskan pesanku ‘Kak Regi, aku shalat dulu di mushola ya’. Aku selipkan di
antara tempelan mading agar mudah terlihat.
Aku berjalan ke arah mushola dan shalat Maghrib dulu
disana, saat ku selesai berwudhu dan menaiki tangga. Terdengar seseorang di
shab laki-laki, aku sangat berharap itu dia. Selesai shalat kulihat dirinya
dari atas, tapi ternyata bukan, anak ekskul karate yang ada disana. Aku
berjalan lemas ke arah mading dan masih belum berubah, tak ada seorangpun yang
ada disana, malah pesanku tak ada pergeseran sama skali. Aku mulai terduduk
lemas dan tertunduk, tanpa sadar penglihatanku mulai kabur, ku ingin menangis..
“Kamu masih di sini?!” aku kaget dan melihat ke arahnya,
aku mengira Kak Regi tapi suaranya lain. Dia mulai menghampiri “dari jam berapa
kamu nunggu disini?” nadanya terlihat khawatir dan segera memasangiku helm. Ah,
aku ingat. Dia kan pangeran komik yang temennya Said itu, tapi apa yang dia
lakuin disini? “Udah, aku anterin pulang ya. Sudah gelap ini, kamu ga takut
sendirian disini”.
Aku masih bingung, dan ga tau harus berkata apa, kucoba
melepaskan helm dari kepalaku. “Tapi Kak Regi gimana? Nanti dia dateng akunya
ga ada, kasihan kalo udah dateng jauh-jauh kesini ternyata aku ga ada” aku
mencoba untuk mengeluarkan kalimat yang ada di pikiranku.
“Kamu tuh yah, polos ato gimana sih. Kamu lihat sekitar
kamu, sudah gelap semua dan ga ada orang disini. Sekarang aja udah jam 7, kamu
kan janjian dari jam 5 jadi harusnya kamu yang gimana? Bukannya dia!” suaranya
agak meninggi. Aku semakin bingung, kenapa dia terlihat kesal dan marah.
Tunggu, dari mana dia tau aku janjian jam 5? Saidkah? Tapi Said kan ga tau
apa-apa, yang tau hanya Rani dan Tina. Aku sepertinya terlihat aneh di matanya
sekarang, dengan raut muka berpikir namun mata berkaca-kaca.
“Lagipula dia ga akan dateng” ucapannya membuatku lebih
berpikir, “dia udah ada disana dari tadi, bareng teman-temannya” ucapannya kali
ini cukup membuat air mataku mulai membasahi pipi. Aku menutupi mukaku dengan
kedua telapak tanganku, aku merasa seperti orang bodoh dan apa yang sebenarnya
aku lakukan disini.
Kenapa Kak Regi? Kenapa? Padahal aku sangat khawatir,
apakah kamu kejebak macet, ada masalah yang harus diurus dan lain-lain. Aku
malu dengan diriku sendiri. Aku seperti anak kecil yang mudah tertipu.
Diantara tangisku, ada tangan yang mengusap kepalaku
dengan lembut. Dia mencoba menenangkan dan memakaikanku helm kembali “aku antar
kamu pulang ya, dah malem”. Kulihat mukanya yang tulus dan kamipun berjalan ke
arah motornya. Tanpa berkata, aku menaiki motornya dan berpegangan pada
jaketnya. Diperjalanan pulang tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya
selain bertanya jalan ke arah rumahku, aku tak habis pikir akan seperti ini
akhirnya, air mataku kembali mengalir dengan ditemani lampu malam.
***
Komentar
Posting Komentar