STORY PART 3 (3 MONTHS OF LOVE)

 


TING TONG TING TONG

                Aku tersadar dari lamunanku dengan adanya bel masuk berbunyi. Wali kelas tiba ke depan kelas dan mengumumkan ranking 10 besar. Ini sebenarnya bukan 10 besar, karena aku mendapatkan rangking 5.3 yang berarti ranking ke 5 besar dan orang ketiga yang mendapatkan ranking tersebut karena jumlah nilainya sama.

                Anehnya, aku sama dengan tetanggaku yang berketurunan Arab, Pakistan dan Palembang (ya sejenis berhidung mancung dan berkulit putih bersihlah) selalu mendapatkan NEM yang sama persis point-pointnya dari SD sampai SMP. Kami berencana masuk ke SMA yang sama dan favorit, yakni SMA Tirta. SMA Tirta ini walaupun seperti penjara tapi beneran luas di dalamnya (hanya lapangan yang luas soalnya mentok sana-sini hee). Aku dan berkebangsaan turunan Arab itu berhasil masuk ke SMA Tirta, namun sayang berbeda kelas yang membuat kami jarang bertemu. Aku kelasnya di lantai 2 dan dia di lantai 1.

                Dulu aku selalu membaca buku pelajaran dan sempat terkontaminasi dengan hadirnya komik karena teman sebangkuku di kelas 2 SMP, mempunyai koleksi komik yang banyak di kamarnya layak seperti taman bacaan.  Sekarang  yang dimana aku resmi menjadi anak SMA, sudah mulai terkontaminasi dengan novel karena tak lain ada teman sekelasku yang hobinya membaca novel,  namanya Rani. Masih teringat novel pertama yang kubaca “Cirtapuccino”, membaca novel bener-bener bikin ketagihan kaya coklat. Tapi dengan perubahan bahan bacaan tak lantas membuatku berubah dalam bersikap. Masih bersisakan trauma untuk berdiam diri dan tak banyak bicara.

Aku merasa tidak mampu untuk bisa seperti orang-orang yang berada di bawah sana, yang sedang asyik latihan di ekskulnya masing-masing. Sampai akhirnya ada salah seorang teman sekelasku yang super duper cerewet mengajakku dengan paksa untuk ikut salah satu ekskul yang beranggapan bisa menjadi artis dadakan di sekolah, tak lain tak bukan ekskul itu adalah Teater. God, ogah aku ikutan ekskul itu, walaupun iya aku ikutan pasti pilih ekskul yang kalem-kalem bukan yang drastis seperti itu.

Aku malas untuk terlihat, aku malas cibiran, aku malas untuk berbeda. Tiba-tiba terniang lontaran kata-kata kasar para orang tua siswa SD, cibiran para guru SMP dan sindiran pedas orang sekitar. Tapi temenku ini pantang menyerah, dia merayu, mengeluarkan kata-kata motivasi dan antusias skali. Dia terus berceloteh sampai kubilang iya, dengan catetan ga janji bisa lama berada di ekskul itu. Dia langsung menarikku menuruni tangga dan menyeretku ke tempat latihan Teater, sepertinya dia tidak menghiraukan catetanku hanya kata iya yang bikin matanya langsung berbinar dan semangatnya semakin membara.

                Dzigggg!! Aku masuk ke ruang kelas dengan bangku yang ditata rapi ke belakang dan lenggang di bagian depan. Orang-orang berkumpul dengan membentuk lingkaran. Aku melihat tatapan semua orang yang berada di dalam kelas tertuju pada kita, aku malu dan ingin berlari keluar saat itu. “Mir, ga jadi ya” bisikku. “Ah, udah duduk sini” sambil mendorongku hingga terjatuh dan duduk bersila, lalu dia duduk di sebelahku.

                “Okey! Kita kedatangan anggota baru! Ya silakan perkenalkan diri” Yaaah… sudah tak terelakkan lagi, nah lho gue mesti ngomong apa, semua orang pada lihat kesini. Ya Tuhan….

***

                Lorongan sekolah sepi, suasana sore terlihat, “Hmm, not bad juga ikutan ekskul disini, nambah temen juga, tapi emang aku bisa ikutan terus..?”

                “Bisalah..” tiba-tiba seseorang menyahut dari belakang. “Eh” dengan muka bingung mencoba menerka apakah dia teman waktu MOS, karena kalo ga teman sekelas ya teman MOS yang kukenal. Tapi sepertinya aku pernah lihat dia waktu upacara , cuman di jajaran kelas 3.

                “Mau shalat ya, gimana Teater? Rame disana?” senyumnya terpancar manis dengan wajah berkeringat dan rambut tipisnya yang berjuntai ke depan.

                “Iya mau shalat dulu, nanti balik lagi latihan. Ikutan ekskul apa? Basket?” sambil menjaga jarak untuk berjalan bersebelahan dengannya.

                “Haha… keliatan kaya anak basket ya. Engga, aku anak DKM, ga keliatan ya? Hahaa” tawanya seakan menutupi rasa malunya dengan statement yang barusan dia lontarkan. Tapi ga salah kan aku menyangka dia anak basket, badannya yang tinggi dan pas terlihat seperti orang yang senang olah raga.

                “Hee.. ga juga kok. Tapi iya sih ga mencerminkan. Eh” tersadar dengan ucapanku, aku takut dia tersinggung tapi ternyata dia menanggapinya dengan senyum merekah dan berkata “Aku Regi Saksono, kamu Keyla kan?” ucapnya sambil menatap ke depan dan melihat jam tangannya yang berwarna hitam. “Shalat bareng yuk Keyla” sambungnya sambil melontarkan senyum manis ditambah lesung pipitnya yang ada di sebelah bibir kiri.

                “Iya..” akupun menjawab dengan senyum merekah dan tetap berjalan pelan menurutinya.

                Daun-daun kering beterbangan tertiup angin, lapangan yang luas tertapaki sepasang muda-mudi yang menyebranginya dengan tersipu malu. Langit seakan mendukung suasana ini, dengan menyempilkan sinar matahari yang membuat hangatnya udara. Dia menoleh ke belakang dan tersenyum “Aku suka suasana kaya gini, tenang” sambil melihat namaku di baju seragam.

                “Salam kenal Keyla Sasmia!” senyumnya.

                “Salam kenal juga Regi Saksono” akupun tak mau kalah dengannya, namun dengan melihat label namanya, sepertinya sudah lama seragam yang dia pakai, dia betul anak kelas 3 ya.

Akhirnya akan ada cerita manis yang akan terukir di bulan Juli ini, di sekolah ini.

***

Komentar

Postingan Populer